Scroll untuk baca artikel
Dumai

Dari Keheningan ke Kekuatan, Inklusi Difabel di Era Digital

×

Dari Keheningan ke Kekuatan, Inklusi Difabel di Era Digital

Sebarkan artikel ini
Inklusi Difabel di Era Digital
Para peserta difabel mengikuti pelatihan fotografi dan videografi bertema “Cahaya Inklusif: Ekspresi Dalam Fotografi dan Videografi” di ruang rapat Diskominfotiksan, Mall Pelayanan Publik Kota Dumai, Selasa (23/9/2025). Dalam keheningan, mereka belajar menangkap cahaya dan makna melalui lensa.(Foto : Ius Oilianto)

DUMAI (MDC) – Selasa pagi, 23 September 2025, ruang rapat Diskominfotiksan di lantai II Mall Pelayanan Publik Kota Dumai berubah menjadi saksi lahirnya sejarah kecil yang bermakna besar. Di ruangan itu, 15 peserta difabel duduk berhadapan dengan layar besar videotron  berisikan gambar yang bertuliskan Pelatihan Fotografi dan Videografi dengan tema “Cahaya Inklusif : Ekspresi Dalam Fotografi dan Videografi”.

Di tengah keterbatasan fisik dan sensorik, mereka hadir bukan sebagai penonton, melainkan sebagai aktor utama dalam sebuah perjalanan baru, mengenal dunia fotografi dan videografi. Program ini digagas oleh PT Pertamina Patra Niaga Integrated Terminal Dumai, berkolaborasi dengan Dinas Sosial, Diskominfotiksan, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Dumai.

Apa yang tampak sebagai pelatihan sehari sejatinya adalah titik mula. Dari keheningan, lahir keberanian. Dari keterbatasan, lahir kekuatan. Dan dari ruang sederhana itulah, pesan besar tentang inklusi sosial bergema.

Dari Keheningan ke Kekuatan, Inklusi Difabel di Era Digital
Peserta difabel belajar teknik pengambilan gambar dengan objek peragaan make up yang juga bagian dari pelatihan dari PT Pertamina Patra Niaga Integrated Terminal Dumai. (Foto : Hendry.K / MDC)

Potensi yang Sering Terlupakan

Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 22 juta penyandang disabilitas, sekitar 8,5% dari total populasi. Di Kota Dumai sendiri, jumlah difabel diperkirakan mencapai 400 orang. Angka ini bukan sekadar statistic, ia adalah potret nyata warga negara yang seharusnya memiliki hak yang sama atas pendidikan, pekerjaan, dan ruang berekspresi.

Namun realitas berbicara lain. Banyak difabel yang kesulitan mengakses pendidikan formal, apalagi pekerjaan. Mereka kerap terpinggirkan, bukan hanya karena keterbatasan fisik, tetapi juga karena stigma sosial yang menempatkan difabel sebagai orang yang harus dikasihani.

Di era digital seperti sekarang, kesenjangan itu semakin nyata. Saat mayoritas masyarakat sudah terbiasa berselancar di dunia maya, difabel sering tertinggal karena kurangnya fasilitas dan pelatihan yang ramah disabilitas. Padahal, teknologi adalah jembatan paling kuat untuk menciptakan kesetaraan.

Dari Keheningan ke Kekuatan, Inklusi Difabel di Era Digital
Juru bahasa isyarat membantu menjembatani komunikasi selama sesi pelatihan berlangsung. Kehadirannya memastikan setiap peserta difabel dapat memahami materi dengan setara dan aktif berpartisipasi. (Foto: Ius Oilianto)

Fotografi dan Videografi Bahasa Tanpa Batas

Mengapa pelatihan ini memilih fotografi dan videografi? Karena keduanya adalah bahasa universal. Sebuah foto mampu berbicara tanpa suara, sebuah video mampu menjelaskan tanpa teks yang panjang.

Bagi peserta tunarungu, gambar adalah cara untuk mengekspresikan diri tanpa harus bergantung pada kata. Bagi peserta dengan hambatan berbicara, video bisa menjadi alat komunikasi yang lebih fasih daripada ucapan. Fotografi dan videografi menjembatani apa yang hilang, sekaligus memperkuat apa yang ada.

Lebih dari itu, fotografi dan videografi adalah keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Di era media sosial, konten visual menjadi komoditas yang sangat berharga. Dari dokumentasi acara, promosi produk UMKM, hingga jurnalisme warga semuanya membutuhkan tenaga kreatif di bidang visual. Dengan keterampilan ini, difabel bukan hanya belajar berkarya, tetapi juga berpeluang mencari penghasilan dan mandiri.

Dari Keheningan ke Kekuatan, Inklusi Difabel di Era Digital
Integreted Terminal Manager Dumai, Jhonny Mangaraja Silalahi, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan wujud nyata komitmen Pertamina Patra Niaga dalam mendukung pemberdayaan masyarakat, khususnya kelompok difabel.(Foto : Hendry.K/MDC)

CSR yang Bukan Basa-Basi

Corporate Social Responsibility (CSR) sering dipandang sinis sebagai kegiatan pencitraan belaka. Tak jarang program CSR berhenti di seremoni pemotongan pita dan publikasi foto, tanpa keberlanjutan. Namun, pelatihan fotografi dan videografi bagi difabel yang digagas Pertamina Patra Niaga ini patut diapresiasi lebih.

Pertama, karena menyentuh kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan dukungan. Difabel sering luput dari radar program pengembangan keterampilan, sementara mereka memiliki potensi luar biasa.

Kedua, karena kegiatan ini memberikan bekal yang konkret, keterampilan yang bisa dipraktikkan, bukan sekadar motivasi kosong. Peserta belajar teknik dasar pengambilan gambar, komposisi, pencahayaan, hingga editing sederhana sebuah modal awal untuk berkembang lebih jauh.

Ketiga, karena ada keberanian untuk melibatkan mitra yang tepat. Pertamina Patra Niaga menggandeng PWI Dumai untuk memberikan materi, sekaligus menghadirkan juru bahasa isyarat bagi peserta tunarungu. Ini menandakan bahwa inklusi dipikirkan secara serius, bukan hanya sekadar jargon.

Dari Keheningan ke Kekuatan, Inklusi Difabel di Era Digital
Wakil Wali Kota Dumai bersama Pertamina Patra Niaga dan PWI Dumai membuka kegiatan pelatihan inklusif bagi difabel.(Foto : Ius Oilianto)

Kolaborasi sebagai Kunci

Tak bisa dipungkiri, keberhasilan kegiatan ini lahir dari kolaborasi. Pertamina Patra Niaga memberikan dukungan utama, pemerintah kota menyediakan fasilitas, PWI Dumai menghadirkan tenaga ahli, sementara juru bahasa isyarat menjembatani komunikasi.

Kehadiran Wakil Wali Kota Dumai, Sugiyarto, memperkuat legitimasi acara. Ucapan dukungannya dan apresiasi kepada PT Pertamina Patra Niaga Integrated Terminal Dumai bukan hanya formalitas, tetapi juga pengakuan bahwa keterampilan digital kreatif sangat relevan dengan kebutuhan zaman. Ketua PWI Dumai, Bambang Prayetno, menegaskan bahwa ruang kreatif ini adalah pintu pembuka bagi difabel untuk memasuki dunia media visual.

Kolaborasi semacam ini adalah model yang seharusnya diperluas. Inklusi sosial tidak bisa dikerjakan oleh satu pihak saja. Dunia usaha, pemerintah, komunitas, dan media harus berjalan bersama.

Mengubah Cara Pandang terhadap Difabel

Kegiatan ini juga mengandung pesan filosofis yang mendalam, difabel bukan objek belas kasihan, melainkan subjek yang memiliki potensi.

Selama ini, difabel sering diposisikan dalam bingkai “penerima bantuan”. Mereka dianggap pasif, menunggu uluran tangan. Padahal, dengan akses dan kesempatan yang sama, mereka bisa menjadi pencipta, inovator, bahkan pemimpin.

Foto dan video yang mereka hasilkan dalam pelatihan ini, meski sederhana, adalah bukti nyata. Ada sudut pandang unik yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang hidup dengan pengalaman berbeda. Ada kepekaan emosional yang membuat karya mereka punya nyawa. Itulah nilai yang justru menjadikan difabel berharga di dunia kreatif.

Tantangan yang Masih Menghadang

Meski penuh harapan, tentu tantangan besar masih menghadang. Beberapa di antaranya:

  1. Keberlanjutan Program
    Satu kali pelatihan jelas tidak cukup. Diperlukan pelatihan lanjutan, mentoring, dan pembentukan komunitas kreatif difabel agar keterampilan ini tidak hilang begitu saja.
  2. Akses Teknologi
    Tidak semua difabel memiliki smartphone dengan kamera memadai atau laptop untuk editing. Dukungan fasilitas harus menjadi bagian dari tindak lanjut program.
  3. Peluang Pasar
    Keterampilan fotografi dan videografi harus dihubungkan dengan pasar. Media lokal, UMKM, atau event organizer bisa menjadi mitra kerja difabel yang sudah terlatih.
  4. Perubahan Mindset Sosial
    Tanpa perubahan cara pandang masyarakat, difabel akan tetap terpinggirkan. Perlu kampanye berkelanjutan untuk membangun kesadaran bahwa difabel adalah bagian integral dari pembangunan.
Dari Keheningan ke Kekuatan, Inklusi Difabel di Era Digital
Seorang peserta difabel tampak fokus memotret menggunakan smartphone. Ekspresi serius di wajahnya memancarkan semangat untuk menembus batas lewat karya visual.(Foto : Hendry.K/MDC)

Harapan untuk Masa Depan

Bayangkan jika setiap perusahaan besar di Dumai mengalokasikan sebagian CSR mereka untuk pemberdayaan difabel. Bayangkan jika pemerintah kota membuat program reguler pelatihan digital bagi penyandang disabilitas. Bayangkan jika masyarakat berhenti melihat difabel sebagai keterbatasan, dan mulai melihat mereka sebagai sumber inspirasi.

Maka Dumai bukan hanya akan dikenal sebagai kota industri, tetapi juga sebagai kota inklusi. Kota yang memberi ruang bagi semua warganya untuk tumbuh, tanpa terkecuali.

Dari Keheningan Lahir Harapan

Pelatihan fotografi dan videografi bagi difabel di Dumai adalah lebih dari sekadar acara sehari. Ia adalah simbol. Simbol bahwa inklusi bisa diwujudkan dengan langkah nyata. Simbol bahwa keheningan bisa berubah menjadi kekuatan.

Setiap klik kamera dari tangan difabel adalah pernyataan: “Kami ada. Kami bisa. Kami setara.”
Dan setiap karya yang lahir dari keterbatasan adalah pengingat bahwa manusia, dengan segala kondisi, selalu punya ruang untuk berkreasi.

Pertamina Patra Niaga, pemerintah daerah, dan PWI Dumai telah menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya keterpinggiran difabel. Tugas kita bersama adalah menjaga agar cahaya itu tidak padam, melainkan semakin terang, hingga menerangi jalan bagi masa depan yang lebih adil dan manusiawi.(*)

Penulis : Hendry Kuswoyo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *