Dawami – Kedah
Sore ini, Sabtu (16/8/2025) dari sebuah sudut tenang di Sungai Petani, Kedah, Malaysia, mataku terpaku pada satu pemandangan yang sudah lama menjadi peneman harian penduduk utara -Gunung Jerai-.
Ia tidak bergemuruh, tidak bergerak. Tapi berdiri dengan teguh, seperti saksi diam kepada ribuan tahun sejarah, mitos, dan keajaiban yang tersembunyi di balik kabusnya. Gunung itu kelihatan jauh, namun seolah dekat dengan jiwa.
Dari tempat kami duduk, sambil menikmati semangkuk Laksa Meatball panas dan air asam es, hanya bayangnya yang bisa dilihat — bentuk segitiga sempurna, menjulang dari sudut Kota Kedah.
Saat matahari mulai hendak masuk keperaduan, sinarnya perlahan menutup lereng-lereng Gunung Jerai.
Kalau pagi, kata warga, seiring naiknya matahari memberi cahaya keemasan yang menggetarkan hati. Seolah-olah gunung itu bukan sekadar tanah dan pokok, tetapi sesuatu yang hidup. Yang sedang memandang kembali ke arah warganya.
Gunung Jerai — yang dahulunya dikenali sebagai Pulau Serai — memang bukan gunung biasa. Dengan ketinggian sekitar 1.217 meter, ia menjadi yang tertinggi di negeri Kedah.
Tapi yang membuatnya lebih megah bukanlah tingginya, tapi kisah-kisah yang mengelilinginya.
Gunung ini dikenali juga sebagai gunung para wali dan orang alim. Salah satu nama yang sering disebut dalam cerita ialah Syeikh Abdullah bin Jaafar al-Qumairi, seorang pendakwah Islam dari Timur Tengah. Beliaulah yang dikatakan membawa sinar Islam ke Kedah lebih seribu tahun yang lalu.
Di puncak gunung itulah terletaknya makam Tok Sheikh, tempat persemadian Syeikh Abdullah. Walau aku tidak mendakinya hari ini, bayangan akan sebuah makam di puncak yang diselimuti kabus terasa begitu kuat.
Orang-orang mengatakan ia bukan sekadar makam, tetapi tempat suci — tempat para raja dan rakyat dahulu menadah doa.
Menurut cerita lama, kehadiran Syeikh Abdullah ke Kedah membuka jalan kepada Islamnya Raja Phra Ong Mahawangsa, raja agung kerajaan Kedah ketika itu.
Setelah menerima dakwahnya, raja itu memeluk Islam dan menukar nama kerajaan kepada Kedah Darul Aman. Dari gunung inilah, perubahan besar itu bermula.
Tidak sedikit cerita aneh yang dikaitkan dengan Gunung Jerai. Ada yang berkata, di dalamnya tersimpan alam ghaib, tempat para penjaga gunung menetap, tak terlihat oleh mata biasa.
Ada pula yang percaya, hanya mereka yang benar-benar suci hatinya yang bisa “melihat” lebih daripada sekadar pohon dan kabus di puncak gunung itu.
Kisah tentang Raja Bersiong — raja berdarah yang kononnya meminum darah manusia — juga dikaitkan dengan kawasan sekitar gunung ini. Ia seolah menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang lari dari cahaya. Tapi seperti semua cerita rakyat, antara nyata dan tidak, dindingnya sentiasa nipis.
Hari ini, aku tidak mendaki. Tidak menziarahi makam. Tidak menyusuri hutan yang penuh rahasia. Aku hanya berdiri di bawah di Sungai Petani, menjadi pemerhati jelang mengikuti program rehlah Jaringan Ulama Pesisir Selat Melaka hingga ke Thailand dan runding-runding dengan kawan-kawan UITM Kedah.
Namun entah mengapa, melihat Gunung Jerai dari jauh pun sudah cukup untuk membuat hati ini terasa dekat dengannya. Gunung itu tidak memerlukan kehadiran fizikal untuk meninggalkan kesan. Ia cukup dilihat — dan selebihnya, kita akan merasakannya sendiri.
Gunung Jerai, dengan segala diam dan kabusnya, terus menyimpan seribu rahasia. Tapi untuk hari ini, melihat pun sudah satu pengalaman rohani. **