Scroll untuk baca artikel
BeritaRagamRiau

Pacu Jalur Mendunia Melalui Dokumentasi Dimas

×

Pacu Jalur Mendunia Melalui Dokumentasi Dimas

Sebarkan artikel ini

Aksi seorang bocah penari haluan atau Togak Luan, Rayyan Akhan Dikha,viral di media sosial pertama kali di upload Dimas

Dimas Eka Yuda

Pekanbaru – Melalui dokumentasi yang digarap oleh Dimas, tradisi Pacu Jalur kini semakin dikenal hingga ke tingkat internasional. Karya visual tersebut berhasil mengangkat setiap momen berharga dari ajang budaya yang digelar di tepian Sungai Kuantan, Riau.

Aksi seorang bocah penari haluan atau Togak Luan, Rayyan Akhan Dikha, dalam video berdurasi 27 menit  viral di media sosial pertama kali di upload Dimas dan memicu fenomena global yang dikenal dengan istilah “Aura Farming”.

Dimas mengunggah video tersebut pertama kali di Facebook pada Mei 2025. Tanpa efek visual maupun musik tambahan, ia menampilkan suasana asli perlombaan, suara sorak penonton dan hembusan angin di tepian Narosa. Hingga Agustus 2025, video tersebut telah ditonton lebih dari 58 juta kali dan mendapatkan 1,6 juta likes.

Namun video itu kemudian diunggah ulang oleh akun luar negeri tanpa watermark dan disertai lagu Young, Black & Rich dari rapper Melly Mike. Dari sanalah, gerakan Dikha, menggulung tangan, mengibas, memberi cium tangan, lalu membentuk hati dengan jari kelingking, menjadi simbol baru selebrasi digital.

Puncaknya terjadi saat klub sepak bola Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), mengunggah video pemain Achraf Hakimi yang menirukan gaya Dikha. Video tersebut ditonton lebih dari 110,5 juta kali di akun resmi PSG.

“Fenomena Aura Farming justru pertama kali viral di luar negeri, terutama Amerika Serikat. Baru setelah itu viral kembali di Indonesia,” ujar Dimas, Selasa (26/8/2025).

Dimas mengaku tak menyangka video dokumentasi tradisi lokal yang ia buat bisa menjadi tren global. Ia tidak mengambil keuntungan pribadi dan menyebut rezeki tersebut sepenuhnya untuk Dikha dan keluarganya.

Dimas juga mengungkap tantangan dalam proses pengambilan gambar. “Saya harus berendam di sungai selama lima jam, dari pukul 13.00 sampai 18.00 WIB. Kadang kamera tersiram air oleh penonton yang antusias di pinggir sungai,” tuturnya.

Meski begitu, Dimas tidak menganggapnya sebagai beban. Bagi dirinya dan para kreator lain, mendokumentasikan Pacu Jalur adalah bentuk kecintaan terhadap budaya daerah.

“Kami berharap ke depan, konten kreator budaya seperti kami lebih diperhatikan. Karena kami tidak sekadar membuat video, tapi juga ikut melestarikan budaya,” ucapnya.

(MCR/fik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *